Langsung ke konten utama

Waktu Menunggumu 11

Malam itu, selepas sholat isya berjamaah di masjid, kami sekeluarga makan malam bersama. tidak seperti biasanya, Ayahku yang biasanya selepas Isya tidak langsung ikut makan malam, karena harus ngajar anak-anak ngaji, malam itu tiba-tiba ikut bergabung bersama aku dan ibu.
"Lo Bah tumben ikut makan bareng?" tanyaku heran
"iya nduk, hari ini anak-anak Abah suruh pulang, ngajinya libur dulu"
"wah ada hal spesial apa ini sampe-sampe Abah ga kaya biasanya meliburkan anak-anak, bahkan pas kita kumpul semua ada Zaky sama Nisa Abah tetep aja mengutamakan santri-santrinya, owh Abah apa hari ini hari ulang tahun Abah? bukan,  ulang tahun umi juga bukan, ulang tahun pernikahan? bukan juga, kenapa mi Abah ini?".
"Abah dan Umi mau ngobrol serius sama kamu" umi ikut menjelaskan situasi saat ini
Aku langsung diam seribu bahasa. Tiba-tiba pikiranku kemana-mana. karena situasi ini pasti sesuatu yang sulit dan aku tidak menginginkannya untuk saat-saat ini.
"Iya, nanti abah jelaskan, sekarang kita makan dulu"
tanpa menimpali pernyataan Abah, aku langsung makan dan kami semeja makan dalam keadaan hening tanpa obrolan apapun sampai kami selesai.
"Nduk, Kemarin Pak Yai Falah, teman Abah sewaktu di Pondok  Ihya tiba-tiba menghubungi Abah, menanyakan kabar kamu"
"Ngghi Bah, Ada apa beliau menanyakan kabarku?'
"jadi putra beliau yang paling tua, ya kira-kira tidak jauh usianya dari kamu baru saja pulang dari Maroko, sudah selesai studinya, beliau ingin kalo kamu sudah selesai juga sekolahmu, biar dikenalkan sama kamu"
"tapi Bah, Hanin masih belum selesai, mungkin satu tahun lagi Hanin baru bisa selesai"
"ya kan nda papa Nduk, kalo menikah sambil S2, nanti malah ada yang bisa bantuin kamu ngerjain tesis"
"begini Bah, apa kita nda tanya dulu ke Hanin, siapa tau dia sudah punya pandangan tentang calon suaminya, Hanin kan sudah besar, bukankah kata Abah kita harus demokratis terhadap anak?' Ibu membantuku menjelaskan ketidaksiapanku saat kondisi seperti ini. lagi pula juga tahu sekali posisiku saat ini. dan segala tentang Ibuku adalah yang paling mengenalku.
"Wes due calon to nduk? yo nek wes due calon, dikenalke karo Abah, benar kata ibumu Abah akan demokratis, tidak mau memaksa kamu juga, sini suruh main ke rumah, biar Abah kenalan"' Abah bertanya penasaran. tapi pertanyaan Abah tiba-tiba membuat kepalaku pening seketika. jujur saja aku masih takut untuk menjawab antara "Ya" dan "tidak. kalo aku menjawab "Ya" aku pun masih belum dapat kejelasan dari mas Satrio, selama ini hubungan kami hanya datar-datar saja,tapi aku berharap sekali mas Satrio punya perasaan yang sama terhadapku. kalo aku jawab "tidak" otomatis Abah pasti akan menjodohkanku dengan anak temannya itu. meskipun beliau demokratis dan tidak memaksakan kehendak kami, tapi aku tahu bahwa aku tidak bisa berkata tidak jika Abah sudah dawuh.
Akhirnya umi yang membantu menjawab.
"wes bah, besok biar umi saja yang bicara sama Hanin, mungkin dia masih malu-malu dan dia juga sepertinya masih ingin menyelesaikan kuliah dulu dibandingkan memikirkan nikah"
"lo ngopo karo Abah ko malu? yo wes nduk, sesok ben umi wae sing crito karo Abah"
"nggih Bah" tiba-tiba aku kehilangan suara dan tidak  bisa menjelaskan apapun di depan Abah dan Umi. biasanya aku selalu cerewet membahas hal-hal sekecil apapun bersama Abah dan Umi saat sedang berkumpul.
malam itu rasanya malam paling tidak nyaman selama aku di Rumah. Aku tahu Abah dan Umi bukan orang tua yang suka memaksakan kehendak kepada anaknya, tapi aku juga tahu bahwa posisiku saat ini bukan masa-masa anak-anak lagi, aku tetap sudah menjadi wanita dewasa yang harus siap memikirkan pernikahan. dan Aku tahu pasti banyak tetangga yang sudah menanyakan tentangku, karena teman ku di desa memang sudah menikah semua. tinggal diriku, apalagi Abah adalah sesepuh di desaku. pasti orang-orang penasaran dengan siapa aku akan menikah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Spesial For Mama

Jumat, 12 Desember 2014 Puisi untuk mama Mama… Kapan ya aku tidak merepotkanmu lagi Tidak membuatmu sakit lagi Saat aku masih tidur pulas di dalam perutmu Dan merasakan hangat serta lembutnya placentamu Padahal semakin hari aku semakin berat dan membebanimu Tapi kau malah mengelus-elus perutmu yang buncit Karena aku Kau nyanyikan aku lagu yang indah Dan kau ajak aku bercanda Seakan kau tahu bahwa di dalam perutmu aku bisa merasakannya Hari demi hari kau nanti kehadiranku Meski semakin hari aku semakin mempersempit gerak dan langkahmu Dan saat waktu itu tiba Aku bahkan hampir membunuhmu Karena kau harus berjuang keras demi memberiku kesempatan untuk melihat dunia ini Kau berjuang menahan sakit Meski seribu ototmu terputus Kau tetap berjuang dan tak menyerah Hanya ingin melihatku terlahir ke dunia ini Dan saat aku telah keluar dan menangis Kau tersenyum bahagia melihatku hadir di dunia ini Meski saat itu kau masih sangat lemah dan tak berday